Ternyata Krisis Kemanusiaan di Gaza Terjadi : Kondisi Terkini dan Langkah Menuju Perdamaian

Ternyata Krisis Kemanusiaan di Gaza Terjadi : Kondisi Terkini dan Langkah Menuju Perdamaian



Jakarta,  – Krisis kemanusiaan di Jalur Gaza telah mencapai tingkat yang sangat memprihatinkan, dengan penderitaan warga sipil yang terus memburuk akibat konflik berkepanjangan, blokade ketat, dan keterbatasan bantuan kemanusiaan. Lebih dari 60.000 warga sipil Palestina, termasuk ribuan anak-anak, telah kehilangan nyawa akibat serangan militer Israel, kelaparan, dan kondisi kesehatan yang memburuk. Laporan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mencatat bahwa sejak Oktober 2023, setidaknya 89 anak di Gaza meninggal dunia karena malnutrisi parah, dengan gambar-gambar memilukan warga yang kurus kering dan tubuh dengan tulang menonjol menjadi simbol penderitaan yang meluas di media global. Krisis ini diperparah oleh blokade bantuan yang diberlakukan Israel, yang hanya mengizinkan masuknya 50–70 truk bantuan per hari, jauh di bawah kebutuhan minimum 600 truk untuk mencegah kelaparan massal.
Kerusakan infrastruktur di Gaza juga sangat parah. Sekitar 68% jaringan jalan dan 60% bangunan, termasuk rumah sakit, sekolah, dan fasilitas air bersih, telah hancur akibat serangan militer. Kondisi ini membuat warga Gaza hidup dalam ketidakpastian, tanpa akses memadai ke makanan, air bersih, atau layanan kesehatan. Organisasi kemanusiaan internasional terus memperingatkan bahwa tanpa intervensi segera, Gaza berada di ambang bencana kemanusiaan yang lebih besar, dengan risiko wabah penyakit dan kematian massal akibat kelaparan.
Di tengah krisis ini, upaya internasional untuk mencapai gencatan senjata terus dilakukan, meski menghadapi tantangan besar. Salah satu inisiatif penting adalah Deklarasi New York, yang diprakarsai oleh Prancis dan Arab Saudi pada Juli 2025. Deklarasi ini menyerukan gencatan senjata permanen, pembebasan sandera dan tawanan, rekonstruksi Gaza, serta pembentukan negara Palestina berdaulat berdasarkan solusi dua negara. Didukung oleh 125 negara, deklarasi ini mencerminkan konsensus global yang kuat untuk mengakhiri konflik. Namun, Amerika Serikat (AS) dan Israel menolak deklarasi tersebut, menyebutnya sebagai “hadiah untuk Hamas.” Penolakan ini memicu kritik keras dari komunitas internasional, meskipun tekanan global akhirnya memaksa Israel untuk sedikit membuka akses bantuan kemanusiaan ke Gaza.
Tantangan menuju perdamaian tetap kompleks. Di internal Palestina, ketidakpercayaan antara Hamas, Fatah, dan Otoritas Palestina menghambat penyatuan pemerintahan yang diperlukan untuk negosiasi yang efektif. Upaya mediasi Mesir untuk membuka kembali perbatasan Rafah menunjukkan potensi kolaborasi, tetapi persatuan politik masih jauh dari kenyataan. Sementara itu, kebijakan AS yang tidak konsisten turut memperumit situasi.
Presiden Donald Trump, yang awalnya mendukung gencatan senjata, kini mendorong Israel untuk “menyelesaikan perang,” sebuah perubahan sikap yang melemahkan upaya diplomatik global. Selain itu, tekanan hukum internasional, seperti surat perintah penangkapan dari Mahkamah Pidana Internasional (ICC) terhadap pemimpin Israel atas dugaan kejahatan perang, serta Resolusi PBB 2024 yang memerintahkan Israel mundur dari wilayah pendudukan dalam 12 bulan, belum mampu mengubah dinamika di lapangan karena sifatnya yang tidak mengikat.
Meski demikian, ada secercah harapan untuk masa depan. Sidang Umum PBB pada September 2025 akan menjadi momen krusial, dengan Prancis, Malta, dan Inggris berencana mengakui kedaulatan negara Palestina. Hingga kini, 147 negara telah mengakui Palestina, termasuk 10 negara tambahan pada 2024, menunjukkan tren positif menuju legitimasi internasional. Indonesia juga muncul sebagai aktor penting dalam upaya perdamaian. Dengan pengalaman sukses memediasi konflik di Aceh dan konflik internal lainnya, para ahli menyarankan Indonesia dapat berperan sebagai mediator netral. Indonesia telah menunjukkan komitmennya dengan menggalang dukungan ASEAN dan Organisasi Kerja Sama Islam (OKI) untuk sidang khusus PBB, serta menyatakan kesiapan mengirim personel untuk misi stabilisasi di Gaza di bawah mandat PBB.
Krisis kemanusiaan di Gaza menuntut tindakan segera dan terkoordinasi dari komunitas internasional. Deklarasi New York memberikan kerangka harapan untuk perdamaian, tetapi keberhasilannya bergantung pada kesatuan faksi Palestina, tekanan yang lebih kuat terhadap Israel untuk mematuhi hukum internasional, dan komitmen nyata dari AS dan Eropa untuk mendukung solusi dua negara. Tanpa langkah konkret, penderitaan warga Gaza akan terus berlanjut, dengan konsekuensi yang semakin tragis. September 2025 akan menjadi titik balik penting, dan peran negara-negara seperti Indonesia dapat menjadi kunci untuk membuka jalan menuju perdamaian yang berkelanjutan.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Misteri Lokasi Masjidil Aqsa: Antara Fakta Sejarah dan Narasi Kontroversial

Ternyata Negeri ini Masih menyisakan kehebatannya

Silaturahmi PKBL PT SI dengan Persatuan Warteg Nusantara