Kekurangan Beras dan Lonjakan Harga: Ancaman Krisis Pangan Indonesia 2025?

Kekurangan Beras dan Lonjakan Harga: Ancaman Krisis Pangan Indonesia 2025?




Jakarta,   – Pasar beras Indonesia sedang berada di ambang krisis. Harga beras melambung tinggi, stok menipis, dan ketidakpastian kebijakan pemerintah memperburuk situasi. Dengan mayoritas wilayah penghasil padi seperti Jawa Barat masih menunggu panen Musim Tanam II (MT II) hingga akhir September, pasokan Gabah Kering Panen (GKP) kian terbatas. Harga GKP kini mencapai Rp7.400–Rp7.600 per kilogram, dengan prediksi menyentuh Rp8.000 sebelum panen tiba. Jika dikonversi, harga beras medium bisa mencapai Rp16.000 per kilogram, jauh di atas Harga Eceran Tertinggi (HET) pemerintah yang berkisar Rp12.500–Rp13.500 per kilogram. Sementara itu, beras premium bahkan dijual hingga Rp20.700 per kilogram, melampaui HET maksimal Rp15.800. Krisis ini mengancam ketahanan pangan nasional dan daya beli masyarakat.



Kelangkaan pasokan dipicu oleh beberapa faktor. Pertama, dominasi Badan Urusan Logistik (Bulog) dalam menyerap gabah MT I menyisakan sedikit pasokan untuk penggilingan swasta. Akibatnya, penggilingan besar yang bermodal kuat mampu membeli gabah dengan harga tinggi, sementara 161.000 dari 169.000 penggilingan kecil terpaksa menghentikan operasi karena kalah bersaing. Penghentian ini memperparah kekurangan pasokan beras di pasar, terutama di ritel modern di daerah seperti Bandar Lampung, Malang, dan Samarinda, yang melaporkan stok menipis.
Ketidakpastian kebijakan pemerintah turut memperkeruh suasana. Rencana penghapusan klasifikasi beras medium dan premium, digantikan dengan beras reguler dan khusus, belum memiliki standar mutu dan harga batas atas yang jelas. Finalisasi kebijakan berbasis zonasi yang tertunda memicu spekulasi di kalangan pedagang dan produsen. Banyak di antara mereka memilih menahan stok, menunggu kepastian regulasi, yang justru memperburuk kelangkaan dan mendorong harga lebih tinggi. Operasi penegakan hukum terhadap beras oplosan juga berdampak ganda: meski bertujuan menjaga kualitas, banyak produsen besar menarik produk mereka dari pasar, dan penggilingan kecil menghentikan produksi untuk menghindari risiko hukum.
Pemerintah berupaya merespons melalui operasi pasar dan pengawasan ketat. Badan Pangan Nasional (Bapanas) meminta produsen dan ritel tetap menjual beras, termasuk yang “terindikasi oplosan,” asal harganya disesuaikan. Namun, kebijakan ini kontradiktif dan membingungkan pelaku pasar. Harga Pembelian Pemerintah (HPP) gabah sebesar Rp6.500 per kilogram juga tidak kompetitif dibandingkan harga pasar, membuat Bulog kesulitan menambah stok. Dengan stok Bulog saat ini hanya 3,9 juta ton, target swasembada beras 32,83 juta ton pada 2025 terancam gagal. Impor beras menjadi opsi, tetapi berisiko melemahkan petani lokal yang sudah tertekan oleh alih fungsi lahan seluas 80.000 hektar per tahun.



Untuk menangani krisis, solusi jangka pendek seperti operasi pasar besar-besaran oleh Bulog dan subsidi bagi penggilingan kecil perlu segera diterapkan. Dalam jangka menengah, pemerintah harus mempercepat pengumuman standar beras baru dan merevisi HET serta HPP agar sesuai dengan realitas pasar. Investasi dalam irigasi dan teknologi pertanian juga krusial untuk meningkatkan produktivitas. Jika panen MT II lancar, stok akhir 2025 diperkirakan mencapai 9,97 juta ton. Namun, tanpa langkah tegas, harga beras diprediksi tetap tinggi hingga akhir tahun, memicu risiko inflasi pangan dan ketidakstabilan sosial. Indonesia kini berada di persimpangan: akankah krisis ini menjadi pelajaran untuk memperkuat ketahanan pangan, atau justru membawa negeri ini ke jurang krisis yang lebih dalam?

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Misteri Lokasi Masjidil Aqsa: Antara Fakta Sejarah dan Narasi Kontroversial

Ternyata Negeri ini Masih menyisakan kehebatannya

Terungkap Ternyata Pakaian Ihkram Cuma Beda Warna dengan Pakaian Biksu