Apakah Buah Mangrove Termaktub dalam Ayat Saba 16 dalam Al-Qur'an?

Apakah Buah Mangrove Termaktub dalam Ayat Saba 16 dalam Al-Qur'an?



Untuk menjawab pertanyaan ini, mari kita analisis terlebih dahulu isi Surah Saba ayat 16 dalam Al-Qur'an, kemudian menghubungkannya dengan konteks buah mangrove dan potensi pangan di wilayah pesisir Indonesia.Teks dan Tafsir Surah Saba Ayat 16Surah Saba ayat 16 berbunyi:
"Fa a‘radū fa arsalnā ‘alaihim sailal-‘arim wa baddalnāhum bi jannatayhim jannataini dzawātai ukulin khamthin wa aslin wa syai’in min sidrin qalīl."

Terjemahan dalam bahasa Indonesia (Kementerian Agama RI):
"Tetapi mereka berpaling, maka Kami datangkan kepada mereka banjir yang besar, dan Kami ganti kedua kebun mereka dengan dua kebun yang ditumbuhi dengan pohon-pohon yang berbuah pahit, pohon-pohon atsar, dan sedikit pohon bidara."

Ayat ini menceritakan kisah kaum Saba di Yaman yang awalnya hidup makmur dengan dua kebun subur berkat bendungan Ma'rib. Namun, karena mereka ingkar terhadap nikmat Allah, bendungan itu runtuh, menyebabkan banjir besar (sail al-‘arim). Akibatnya, kebun-kebun subur mereka berubah menjadi kebun yang menghasilkan buah pahit (ukulin khamthin), pohon atsar (biasanya diartikan sebagai pohon tamarisk), dan sedikit pohon bidara (sidr).Apakah Buah Mangrove Disebut dalam Ayat Ini?Berdasarkan tafsir klasik seperti Tafsir Ibnu Katsir dan Tafsir Al-Jalalayn, serta penjelasan ulama, buah yang disebutkan dalam ayat ini adalah:
  • Ukulin khamthin: Buah yang pahit, sering diidentifikasi sebagai buah dengan kualitas rendah atau tidak enak dimakan, sebagai kontras dengan buah-buahan lezat dari kebun sebelumnya.
  • Pohon atsar: Pohon tamarisk, semak gurun yang buahnya kecil dan pahit, kurang bernilai sebagai pangan.
  • Pohon sidr: Pohon bidara, yang menghasilkan buah dengan nilai gizi terbatas dibandingkan buah-buahan subur sebelumnya.
Tidak ada penyebutan eksplisit tentang buah mangrove (atau bakau) dalam ayat ini, baik dalam teks Al-Qur'an maupun tafsirnya. Mangrove adalah ekosistem pesisir dengan spesies seperti Rhizophora, Avicennia, atau Sonneratia, yang dikenal memiliki buah atau propagul tertentu yang bisa diolah sebagai pangan di beberapa komunitas pesisir. Namun, karakteristik buah mangrove (yang sering pahit sebelum diolah dan memerlukan proses khusus seperti perebusan) tidak secara spesifik cocok dengan deskripsi "ukulin khamthin" atau pohon atsar dalam konteks geografis dan historis kaum Saba di Yaman, yang merupakan wilayah daratan bukan ekosistem pesisir mangrove.Konteks Buah Mangrove sebagai Pangan PesisirDalam informasi yang Anda berikan, buah mangrove (misalnya dari spesies Sonneratia atau Bruguiera) telah dimanfaatkan masyarakat pesisir Indonesia, seperti di Balikpapan dan Biak, sebagai sumber pangan alternatif, terutama saat krisis pangan (1963–1965). Buah ini diolah dengan merebusnya hingga empuk, dicampur parutan kelapa, atau ditaburi nira kelapa/nipah untuk menghilangkan rasa pahit. Di Biak, buah mangrove bahkan disebut "buah aibon" (buah kayu) dan dianggap potensi agrobisnis. Praktik ini menunjukkan bahwa buah mangrove memang bisa dimakan setelah diolah, tidak beracun, dan telah menjadi bagian dari kearifan lokal masyarakat pesisir.Namun, penggunaan buah mangrove ini adalah fenomena budaya dan ekologis spesifik di wilayah pesisir tropis seperti Indonesia, yang berbeda dari konteks historis dan geografis kaum Saba di Yaman. Tidak ada bukti tekstual atau tafsir yang menghubungkan buah mangrove dengan ayat Saba 16. Kemungkinan besar, "ukulin khamthin" merujuk pada buah lokal Yaman yang pahit, seperti varietas tamarisk atau buah liar lainnya, bukan mangrove.Potensi Hutan Mangrove sebagai Cadangan PanganHutan mangrove memiliki peran penting sebagai cadangan pangan di Indonesia, negara kepulauan dengan 81.000 km garis pantai dan 60% penduduk tinggal di pesisir. Sekitar 600.000 nelayan di pantai utara Jawa bergantung pada laut, tetapi mangrove menawarkan alternatif pangan yang belum dimanfaatkan secara maksimal. Selain buahnya, mangrove juga mendukung ekosistem perikanan, menyediakan kayu, dan potensial untuk produk turunan seperti sirup atau tepung. Praktik tradisional di Balikpapan dan Biak menunjukkan kearifan lokal yang bisa dikembangkan melalui kajian ilmiah untuk mendukung ketahanan pangan dan agrobisnis, seperti yang diusulkan masyarakat Biak.KesimpulanBuah mangrove tidak termaktub dalam Surah Saba ayat 16, karena ayat ini merujuk pada buah pahit, pohon tamarisk, dan bidara dalam konteks kaum Saba di Yaman, bukan ekosistem mangrove. Namun, buah mangrove memiliki nilai penting sebagai sumber pangan alternatif di Indonesia, terutama di komunitas pesisir. Untuk memaksimalkan potensinya, pemerintah dapat mendukung penelitian ilmiah, pengembangan agrobisnis berbasis mangrove, dan edukasi masyarakat tentang pengolahan buah mangrove. Hal ini sejalan dengan kebutuhan ketahanan pangan di wilayah pesisir yang dihuni 140 juta jiwa, sembari tetap menghormati nilai-nilai ekologis hutan mangrove.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Misteri Lokasi Masjidil Aqsa: Antara Fakta Sejarah dan Narasi Kontroversial

Ternyata Negeri ini Masih menyisakan kehebatannya

Terungkap Ternyata Pakaian Ihkram Cuma Beda Warna dengan Pakaian Biksu