Apa benar Mafia Pangan Menggila ? Beras dan Gula Oplosan Kuasai Pasar Indonesia!
Apa benar Mafia Pangan Menggila ? Beras dan Gula Oplosan Kuasai Pasar Indonesia!
Jakarta, 5 Agustus 2025 – Pasar pangan Indonesia sedang didera krisis kepercayaan akibat maraknya praktik oplosan beras dan gula yang mengancam konsumen dan petani. Investigasi Kementerian Pertanian (Kementan) pada Juni 2025 mengungkap fakta mencengangkan: 212 dari 268 merek beras yang beredar melanggar Standar Nasional Indonesia (SNI), terutama karena kadar beras patah melebihi batas (25% untuk beras medium, 15% untuk premium). Modusnya? Beras reject yang seharusnya untuk pakan ternak dicampur dengan beras medium atau premium, bahkan dikemas ulang sebagai produk Stabilisasi Pasokan dan Harga Pangan (SPHP) Bulog. Kasus ini terdeteksi di Riau dan Kalimantan Timur, dengan merek ternama seperti Sania (PT PIM), Jelita (Toko SY), dan Setra Ramos (PT FS) terseret dalam skandal ini.
Tidak hanya beras, gula juga menjadi sasaran mafia pangan. Sebanyak 51.634 ton gula petani di Jawa menumpuk di gudang karena pedagang enggan mengikuti lelang. Penyebabnya adalah banjirnya gula rafinasi dan impor ilegal, seperti dari Malaysia, yang dioplos dengan gula kristal putih dan dijual dengan harga jauh lebih murah. Di Banyumas, Jawa Tengah, sebuah pabrik oplosan memproduksi 300–500 ton gula per bulan sejak 2018, menggunakan karung merek “Raja Gula” milik ID Food. Praktik ini merugikan petani, yang harga gulanya (Rp14.500/kg) tak mampu bersaing dengan gula oplosan.
Akar Masalah: Motif Ekonomi dan Kebijakan LemahPraktik oplosan ini didorong oleh motif ekonomi. Produsen nakal mencampur bahan baku murah untuk meraup keuntungan besar, menjual produk di bawah standar dengan harga premium. Namun, kebijakan pemerintah juga turut memperparah situasi. Untuk beras, kebijakan pembelian gabah “any quality” seharga Rp6.500/kg tanpa standar mutu justru meningkatkan biaya produksi, mendorong pelaku usaha menjual di atas Harga Eceran Tertinggi (HET). Rencana penghapusan klasifikasi beras medium dan premium juga menuai kritik karena berpotensi menurunkan kualitas dan membingungkan konsumen.Di sisi gula, lemahnya pengawasan distribusi membuat gula rafinasi untuk industri bocor ke pasar konsumsi. Impor ilegal gula semakin memperburuk daya saing gula petani, yang terjebak dalam harga acuan tinggi dan distribusi tak terkontrol. Akibatnya, konsumen membayar mahal untuk produk oplosan, sementara petani merana karena hasil panen tak terserap.
Dampak: Konsumen Tertipu, Petani TerpurukDampaknya sangat nyata. Konsumen dirugikan karena mendapatkan produk di bawah standar dengan harga premium. Petani, yang menjadi tulang punggung pangan nasional, kehilangan pasar karena produk oplosan membanjiri pasar dengan harga murah. Program pemerintah seperti SPHP dan HET pun gagal menstabilkan harga akibat manipulasi yang dilakukan pelaku usaha nakal.
Upaya Penanganan dan SolusiPihak berwenang mulai bertindak. Satgas Pangan Polri menetapkan tiga tersangka dari PT FS terkait beras oplosan, dan penggerebekan dilakukan di pabrik gula oplosan Banyumas. Namun, kebijakan seperti penghapusan klasifikasi beras dan pembelian gabah tanpa standar mutu dinilai kontraproduktif. Para pakar menyarankan pemerintah mempertahankan klasifikasi mutu beras, memperketat pengawasan SNI, dan menyesuaikan HET agar sesuai biaya produksi. Untuk gula, percepatan serapan gula petani melalui cadangan pemerintah oleh BUMN serta pengawasan ketat terhadap gula rafinasi dan impor ilegal menjadi langkah krusial.Reformasi sistemik juga mendesak. Kolaborasi antara Kementan, Bulog, dan aparat penegak hukum harus diperkuat, disertai sanksi tegas seperti pencabutan izin usaha bagi pelaku oplosan. Edukasi konsumen untuk memilih produk berlabel SNI juga perlu digencarkan agar masyarakat lebih cerdas dalam berbelanja.
Lawan Mafia Pangan!Skandal oplosan beras dan gula adalah cerminan lemahnya pengawasan dan kebijakan pangan yang tidak menyeluruh. Untuk mengatasi krisis ini, pemerintah harus menyesuaikan kebijakan harga, memberantas mafia distribusi dan impor ilegal, serta melibatkan masyarakat dalam menjaga kualitas pangan. Tanpa langkah tegas, mafia pangan akan terus menggila, merugikan konsumen, dan mematikan petani. Saatnya Indonesia melawan demi pangan yang aman dan bermartabat!
Tidak hanya beras, gula juga menjadi sasaran mafia pangan. Sebanyak 51.634 ton gula petani di Jawa menumpuk di gudang karena pedagang enggan mengikuti lelang. Penyebabnya adalah banjirnya gula rafinasi dan impor ilegal, seperti dari Malaysia, yang dioplos dengan gula kristal putih dan dijual dengan harga jauh lebih murah. Di Banyumas, Jawa Tengah, sebuah pabrik oplosan memproduksi 300–500 ton gula per bulan sejak 2018, menggunakan karung merek “Raja Gula” milik ID Food. Praktik ini merugikan petani, yang harga gulanya (Rp14.500/kg) tak mampu bersaing dengan gula oplosan.
Akar Masalah: Motif Ekonomi dan Kebijakan LemahPraktik oplosan ini didorong oleh motif ekonomi. Produsen nakal mencampur bahan baku murah untuk meraup keuntungan besar, menjual produk di bawah standar dengan harga premium. Namun, kebijakan pemerintah juga turut memperparah situasi. Untuk beras, kebijakan pembelian gabah “any quality” seharga Rp6.500/kg tanpa standar mutu justru meningkatkan biaya produksi, mendorong pelaku usaha menjual di atas Harga Eceran Tertinggi (HET). Rencana penghapusan klasifikasi beras medium dan premium juga menuai kritik karena berpotensi menurunkan kualitas dan membingungkan konsumen.Di sisi gula, lemahnya pengawasan distribusi membuat gula rafinasi untuk industri bocor ke pasar konsumsi. Impor ilegal gula semakin memperburuk daya saing gula petani, yang terjebak dalam harga acuan tinggi dan distribusi tak terkontrol. Akibatnya, konsumen membayar mahal untuk produk oplosan, sementara petani merana karena hasil panen tak terserap.
Dampak: Konsumen Tertipu, Petani TerpurukDampaknya sangat nyata. Konsumen dirugikan karena mendapatkan produk di bawah standar dengan harga premium. Petani, yang menjadi tulang punggung pangan nasional, kehilangan pasar karena produk oplosan membanjiri pasar dengan harga murah. Program pemerintah seperti SPHP dan HET pun gagal menstabilkan harga akibat manipulasi yang dilakukan pelaku usaha nakal.
Upaya Penanganan dan SolusiPihak berwenang mulai bertindak. Satgas Pangan Polri menetapkan tiga tersangka dari PT FS terkait beras oplosan, dan penggerebekan dilakukan di pabrik gula oplosan Banyumas. Namun, kebijakan seperti penghapusan klasifikasi beras dan pembelian gabah tanpa standar mutu dinilai kontraproduktif. Para pakar menyarankan pemerintah mempertahankan klasifikasi mutu beras, memperketat pengawasan SNI, dan menyesuaikan HET agar sesuai biaya produksi. Untuk gula, percepatan serapan gula petani melalui cadangan pemerintah oleh BUMN serta pengawasan ketat terhadap gula rafinasi dan impor ilegal menjadi langkah krusial.Reformasi sistemik juga mendesak. Kolaborasi antara Kementan, Bulog, dan aparat penegak hukum harus diperkuat, disertai sanksi tegas seperti pencabutan izin usaha bagi pelaku oplosan. Edukasi konsumen untuk memilih produk berlabel SNI juga perlu digencarkan agar masyarakat lebih cerdas dalam berbelanja.
Lawan Mafia Pangan!Skandal oplosan beras dan gula adalah cerminan lemahnya pengawasan dan kebijakan pangan yang tidak menyeluruh. Untuk mengatasi krisis ini, pemerintah harus menyesuaikan kebijakan harga, memberantas mafia distribusi dan impor ilegal, serta melibatkan masyarakat dalam menjaga kualitas pangan. Tanpa langkah tegas, mafia pangan akan terus menggila, merugikan konsumen, dan mematikan petani. Saatnya Indonesia melawan demi pangan yang aman dan bermartabat!
Komentar