Apa Benar Kelas Mutu Beras Akan Dihapus ? Akankah Petani Dirugikan, Konsumen Terbebani, Oplosan Mengintai ?
Apa Benar Kelas Mutu Beras Akan Dihapus ? Akankah Petani Dirugikan, Konsumen Terbebani, Oplosan Mengintai ?
Jakarta, Pemerintah berencana menghapus klasifikasi mutu beras medium dan premium, menggantinya dengan kategori tunggal "beras reguler" sambil mempertahankan beras khusus seperti organik, merah, dan ketan. Kebijakan ini memicu gelombang kritik dari berbagai pihak, termasuk pakar pertanian dan pelaku industri, karena berpotensi merugikan petani, membebani konsumen, dan memicu praktik curang seperti beras oplosan.
Dwi Andreas Santosa, Guru Besar Fakultas Pertanian IPB, menegaskan bahwa penghapusan kelas mutu beras dapat mematikan inovasi di sektor perberasan. Insentif untuk memproduksi beras berkualitas tinggi, seperti beras premium dengan kadar pecah hanya 5%, akan hilang. Padahal, Indonesia masih tertinggal dari Thailand dan Vietnam dalam produksi beras premium yang kompetitif di pasar global. Presiden Prabowo Subianto pernah menargetkan Indonesia menjadi pengekspor beras, namun tanpa dorongan untuk menghasilkan beras berkualitas, mimpi ini sulit terwujud. Hilangnya standar mutu berisiko membuat ekspor beras Indonesia semakin tertinggal, merusak daya saing nasional.
Dampak kebijakan ini juga mengancam konsumen dan produsen. Jika Harga Eceran Tertinggi (HET) beras reguler ditetapkan di kisaran Rp12.500–Rp14.900/kg, masyarakat berpenghasilan rendah akan kesulitan mengakses beras terjangkau yang sebelumnya berada di kategori medium (Rp12.500/kg). Di sisi lain, produsen beras premium terpaksa menurunkan kualitas produk mereka karena harga dipatok sama dengan beras biasa. Akibatnya, kualitas beras nasional berpotensi merosot. Petani dan penggilingan padi yang fokus pada beras medium mungkin diuntungkan sementara, tetapi petani beras premium akan menderita kerugian signifikan. Ketimpangan ini dapat melemahkan semangat petani untuk berinovasi dan meningkatkan produktivitas.
Lebih mengkhawatirkan, kebijakan ini berpotensi memicu maraknya beras oplosan. Pengalaman sebelumnya menunjukkan bahwa pembelian gabah tanpa standar mutu telah mendorong praktik pencampuran beras kualitas rendah dan tinggi. Tanpa klasifikasi mutu yang jelas, pengawasan kualitas akan semakin sulit, membuka celah bagi praktik curang yang merugikan konsumen dan petani jujur. Hal ini tidak hanya menurunkan kepercayaan masyarakat terhadap produk beras lokal, tetapi juga dapat memperburuk citra industri perberasan Indonesia.
Kepala Badan Pangan Nasional (Bapanas), Arief Prasetyo Adi, membela kebijakan ini sebagai upaya menyederhanakan pasar dan mencegah manipulasi harga. Beras khusus, seperti beras organik atau varietas lokal, dikecualikan dari HET, tetapi wajib bersertifikasi. Namun, persyaratan sertifikasi ini dikhawatirkan memberatkan produsen kecil. Bapanas mengklaim masih membuka ruang untuk masukan dari pemangku kepentingan, menandakan kebijakan ini belum final. Meski begitu, banyak pihak mendesak pemerintah untuk mempertimbangkan kembali dampak jangka panjangnya.
Kebijakan ini berisiko mengurangi inovasi, membebani masyarakat berpenghasilan rendah, menurunkan kualitas beras nasional, dan memperparah praktik beras oplosan. Pemerintah perlu mengevaluasi ulang dengan melibatkan petani, akademisi, dan pelaku industri. Alternatif seperti mempertahankan klasifikasi mutu, memperketat pengawasan, dan memberikan insentif bagi petani beras premium dapat menjadi solusi untuk menjaga kesejahteraan petani, melindungi konsumen, dan meningkatkan daya saing Indonesia di pasar global. Tanpa langkah hati-hati, kebijakan ini bisa menjadi bumerang bagi sektor pertanian nasional.
Komentar