Apa benar Gula Petani Tersisih: Lelang Sepi, Impor Ilegal dan Bagaimana Oplosan Kuasai Pasar ?
Apa benar Gula Petani Tersisih: Lelang Sepi, Impor Ilegal dan Bagaimana Oplosan Kuasai Pasar ?
Jakarta, 2 Agustus 2025 – Musim giling tebu yang seharusnya menjadi momen panen raya bagi petani tebu Indonesia justru berubah menjadi mimpi buruk. Per 30 Juli 2025, sebanyak 51.634,963 ton gula petani menumpuk tak laku di lelang. Lelang gula yang biasanya ramai pada puncak musim giling Juli-Agustus kini sepi pembeli, terutama di sentra produksi seperti Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Jawa Barat. Harga acuan pemerintah sebesar Rp 14.500/kg tak lagi dilirik pedagang, bahkan beberapa menawar di bawah harga minimum. Apa yang salah dengan industri gula nasional?
Penyebab utama krisis ini adalah maraknya gula rafinasi yang bocor ke pasar konsumsi. Gula rafinasi, yang seharusnya hanya digunakan untuk industri makanan dan minuman, kini dijual bebas di pasar eceran dengan harga lebih murah. Praktik ini menekan harga gula kristal putih produksi petani lokal. Lebih parah lagi, gula oplosan—campuran gula rafinasi dan kristal putih—semakin merajalela. Kasus di Banyumas, Jawa Tengah, menjadi sorotan ketika ditemukan karung gula palsu bermerek “Raja Gula” milik ID Food, yang ternyata berisi gula oplosan. Tak hanya itu, gula impor ilegal yang masuk melalui Sumatera dan Kalimantan semakin memperburuk persaingan, membuat gula petani semakin tak berdaya.
Dampaknya dirasakan langsung oleh petani dan pabrik gula. Harga gula petani yang pada Mei-Juni 2025 masih bertengger di kisaran Rp 14.550–14.850/kg kini merosot menjadi Rp 14.500–14.600/kg pada Juli. Beberapa pabrik gula, seperti PT RNI dan Kebon Agung, masih berupaya membeli gula petani sesuai harga acuan pemerintah, namun kemampuan mereka terbatas. Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia (APTRI) mendesak Perum Bulog turun tangan menyerap stok gula petani untuk mencegah kerugian lebih lanjut. “Jika stok terus menumpuk, petani bisa kolaps,” ujar seorang perwakilan APTRI.
Pemerintah melalui Satgas Pangan telah bergerak. Penggerebekan peredaran gula ilegal, seperti di Banyumas, menjadi bukti upaya penegakan hukum. ID Food, sebagai produsen gula nasional, juga mendukung langkah tegas ini, menegaskan bahwa praktik ilegal merugikan petani dan industri lokal. Namun, upaya ini belum cukup menangani akar masalah yang lebih dalam.
Rendemen tebu yang rendah, hanya 5–7,5%, menjadi salah satu penyebab struktural. Teknologi pabrik gula yang ketinggalan zaman membuat produksi gula lokal kurang efisien. Selain itu, impor gula mentah yang berlebihan—3,2 juta ton per tahun, padahal kebutuhan industri hanya 2,4 juta ton—membanjiri pasar. Lemahnya pengawasan terhadap peredaran gula rafinasi dan impor ilegal semakin memperparah situasi.
Solusi jangka pendek yang mendesak adalah memperketat pengawasan gula rafinasi dan impor ilegal, serta mendorong Bulog atau BUMN pangan menyerap gula petani saat pasar lesu. Untuk jangka panjang, modernisasi pabrik gula harus menjadi prioritas untuk meningkatkan efisiensi dan daya saing. Edukasi konsumen juga penting, mengajak masyarakat memilih gula kristal putih lokal ketimbang gula oplosan yang merugikan petani.Krisis ini adalah alarm bagi pemerintah dan pelaku industri untuk segera bertindak. Jika tidak, petani tebu yang menjadi tulang punggung swasembada gula nasional akan semakin tersisih, dan mimpi kemandirian pangan Indonesia kian pudar.
Jakarta, 2 Agustus 2025 – Musim giling tebu yang seharusnya menjadi momen panen raya bagi petani tebu Indonesia justru berubah menjadi mimpi buruk. Per 30 Juli 2025, sebanyak 51.634,963 ton gula petani menumpuk tak laku di lelang. Lelang gula yang biasanya ramai pada puncak musim giling Juli-Agustus kini sepi pembeli, terutama di sentra produksi seperti Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Jawa Barat. Harga acuan pemerintah sebesar Rp 14.500/kg tak lagi dilirik pedagang, bahkan beberapa menawar di bawah harga minimum. Apa yang salah dengan industri gula nasional?
Penyebab utama krisis ini adalah maraknya gula rafinasi yang bocor ke pasar konsumsi. Gula rafinasi, yang seharusnya hanya digunakan untuk industri makanan dan minuman, kini dijual bebas di pasar eceran dengan harga lebih murah. Praktik ini menekan harga gula kristal putih produksi petani lokal. Lebih parah lagi, gula oplosan—campuran gula rafinasi dan kristal putih—semakin merajalela. Kasus di Banyumas, Jawa Tengah, menjadi sorotan ketika ditemukan karung gula palsu bermerek “Raja Gula” milik ID Food, yang ternyata berisi gula oplosan. Tak hanya itu, gula impor ilegal yang masuk melalui Sumatera dan Kalimantan semakin memperburuk persaingan, membuat gula petani semakin tak berdaya.
Dampaknya dirasakan langsung oleh petani dan pabrik gula. Harga gula petani yang pada Mei-Juni 2025 masih bertengger di kisaran Rp 14.550–14.850/kg kini merosot menjadi Rp 14.500–14.600/kg pada Juli. Beberapa pabrik gula, seperti PT RNI dan Kebon Agung, masih berupaya membeli gula petani sesuai harga acuan pemerintah, namun kemampuan mereka terbatas. Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia (APTRI) mendesak Perum Bulog turun tangan menyerap stok gula petani untuk mencegah kerugian lebih lanjut. “Jika stok terus menumpuk, petani bisa kolaps,” ujar seorang perwakilan APTRI.
Pemerintah melalui Satgas Pangan telah bergerak. Penggerebekan peredaran gula ilegal, seperti di Banyumas, menjadi bukti upaya penegakan hukum. ID Food, sebagai produsen gula nasional, juga mendukung langkah tegas ini, menegaskan bahwa praktik ilegal merugikan petani dan industri lokal. Namun, upaya ini belum cukup menangani akar masalah yang lebih dalam.
Rendemen tebu yang rendah, hanya 5–7,5%, menjadi salah satu penyebab struktural. Teknologi pabrik gula yang ketinggalan zaman membuat produksi gula lokal kurang efisien. Selain itu, impor gula mentah yang berlebihan—3,2 juta ton per tahun, padahal kebutuhan industri hanya 2,4 juta ton—membanjiri pasar. Lemahnya pengawasan terhadap peredaran gula rafinasi dan impor ilegal semakin memperparah situasi.
Solusi jangka pendek yang mendesak adalah memperketat pengawasan gula rafinasi dan impor ilegal, serta mendorong Bulog atau BUMN pangan menyerap gula petani saat pasar lesu. Untuk jangka panjang, modernisasi pabrik gula harus menjadi prioritas untuk meningkatkan efisiensi dan daya saing. Edukasi konsumen juga penting, mengajak masyarakat memilih gula kristal putih lokal ketimbang gula oplosan yang merugikan petani.Krisis ini adalah alarm bagi pemerintah dan pelaku industri untuk segera bertindak. Jika tidak, petani tebu yang menjadi tulang punggung swasembada gula nasional akan semakin tersisih, dan mimpi kemandirian pangan Indonesia kian pudar.
Komentar