Kesulitan Warteg dan Harapan Membuminnya Nawa Cita
Kesulitan Warteg dan Harapan Membuminnya Nawa Cita
Sebuah negeri yang dikarunia anugerah alam yang besar, yang membuat Governor Jenderal Stamford Raffles dari Inggris menitikan air mata ketika harus cabut dari negeri nusantara ini karena surat mandatnya sudah selesai, mungkin hanya Tuhan dan dia yang tahu apa benar dia menangis terharu untuk angkat kaki karena kekagumannya dengan negeri yang diberi karuna Gemah Ripah Loh Jinawi, akan tetapi khalayak umum akan tahu kalau membaca tulisan seorang penjajah Governor Jenderal Raffles dalam bukunya "The History of Java" (1817), dalam nukilan bukunya dia mengungkapkan kekaguman akan kesuburan tanah jawa dia menulis "tidak ada tanah yang sepadan (sama) dengan tanah jawa di muka bumi ini, dalam kesuburannnya jika tanah ini diolah dengan baik" dia menambahkan bahwasanya seorang Raffles yang lahir di Afrika tepatnya di Jamaica dan sering dibawa orang tuanya yang kapten pelayar sehingga dia mengetahui sudut-sudut bumi yang disinggahi dan membandingkan tanah yang subur di muka bumi.
Bukan hanya Raffles Englishman yang menulis tentang kekaguman kesuburan tanah nusantara, ada "Island of Java" yang ditulis oleh John Joseph Stockdale, tahun 1811 dan "The Conquest of Java" oleh Major William Thorn (Penaklukan Jawa, 1815), semua menggambarkan tanah bumi nusantara yang gemah ripah loh Jinawe, dalam buku "The Conquest of Java" dalam kutipannya "bahwa betapa suburnya tanah Jawa sehinga mudahnya tanaman tumbuh cepat tanpa perlu dipupuk/diolah di tanah pulau Jawa" kutipan ini dapat diingat dengan lagu yang di zaman kemerdekaan menjadi lagu Hitnya Koes Plus dalam satu liriknya "Tongkat Dilempar Menjadi Tanaman"
Betapa suburnya tanah yang kita tempati, padi-padian yang menguning, kehijau-hijauan sayuran yang tumbuh seperti alang-alang. Sepuluh tahun yang lalu dan sebelumnya para pedagang warteg (warung makan keci) bersuka ria karena harga-harga kebutuhan pokok yang masih murah, bahan-bahan kebutuhan pokok yang mudah terjangkau, mereka bisa membawa untung untuk pulang ke kampung membangun rumah, membangun masjid, bersedekah, membeli sawah dan penggunaan uang untuk manfaat lainnya.
Kondisi sekarang sangat berbeda, naiknya harga-harga kebutuhan pokok dan semakin sultnya mendapatkan bahan-bahan kebutuhan pokok, momok berita yang tidak mau didengan para wartegan yaitu sulitnya memperoleh cabe, bawang dan naiknya harga beras di tambah lagi gas melon (gas isi 3 Kg.) langka di pasaran menambah pusing tujuh keliling para penyaji makanan rakyat kecil. Sementara wartegan ini mensuplai seperti bulog untuk para perut rakyat kecil yang mendapat pendapatan pas-pasan.
Para wartegan mungkin sedikit yang membaca buku karangan Raffles, John Joseph Stockdale, Major William Thorn, tetapi mereka hapal dengan nyanyian Koes Plus "Tongkat Dilempar Jadi Tanaman", negeri yang sangat subur sukar untuk jabarkan jika harus dan masih mengimpor kebutuhan pokok jika rakyatnya menjerit langkanya dan mahalnya yang seharusnya bisa dan dapat ditanam di negeri subur ini.
Para wartegan hanya menunggu sampai kapan setiap hari harus mengiris tempe yang semakin tipis agar bisa untung dan pelanggan yang masih bisa membeli walaupun tempenya, dagingnya semakin hari semakin mengecil dengan harga yang dikontrak pelanggan tanpa mengenal waktu dengan harga ya segitu-gitu, agar pelangan tidak kabur.
Nawa Cita yang didengungkan pemerintah sekarang tidak hanya sekedar jargon untuk kalangan yang melek politik, tapi rakyat kecil ngertinya Nawa Cita dan Revolusi mental adalah bagaimana mendapatkan kebutuhan pokok yang murah dan mudah didapat. Nawa Cita dan Revolusi Mental harus membumi jangan melingkar-lingkar di negeri awan, pinjam liriknya Katon Bagaskara...........Salam Wartegan
*Ditulis oleh Mukroni (Ketua Umum KOWANTARA)
Komentar