Klangenan Perkutut

Klangenan Perkutut



Kegemaran memelihara Perkutut merupakan warisan budaya leluhur
yang perlu dilestarikan, karena di dalamnya mengandung
nilai-nilai ajaran yang adiluhung sifatnya. Para leluhur kita,
khususnya orang Jawa, telah menempatkan burung Perkutut begitu
terhormat dibanding jenis burung yang lain. Burung Perkutut
dianggap punya tuah mistis yang bisa disejajarkan dengan tuah
mistis pusaka (keris dan azimat lainnya). Berkaitan dengan tuah
mistis Perkutut tersebut leluhur Jawa mewariskan ilmu tentang
katuranggan Perkutut. Berdasar ilmu katuranggan tersebut, bisa
diketahui pengaruh burung Perkutut (yang mempunyai ciri-ciri
tertentu) terhadap pemiliknya. Ada burung yang setengah
dianjurkan untuk dipelihara, ada juga jenis yang tidak boleh
dipelihara oleh sembarang orang.

Memelihara Perkutut pada dulunya lebih cenderung kepada suatu
klangenan. Artinya barang (dalam hal ini, burung) yang dimiliki
bisa memberikan rasa senang dalam batin atau bisa
mempersembahkan keindahan kepada pemiliknya. Dalam bahasa Jawa
Kuno mempersembahkan keindahan istilahnya kalangon atau
kalangwan. Barangkali pula kata klangenan dalam bahasa Jawa kini
berasal dari kata kalangon atau kalangwan tadi.
Sudah barangtentu yang bisa mempunyai klangenan pada waktu dulu
adalah golongan masyarakat priyayi, berduit, atau punya
kedudukan penting di tengah masyarakat. Dengan demikian
pengetahuan tentang Perkutut tidak bisa merambah ke rakyat
jelata. Alasannya, rakyat jelata tidaklah pantas mempunyai
klangenan. Bagi si jelata jatahnya hanya sebagai penangkap
burung (tukang pikat).

Dikarenakan Perkutut sebagai klangenan, maka para penangkap
burung memburu burung yang bagus kualitas suaranya memenuhi
pesanan para priyayi yang tinggal di kota. Sebaliknya para
pemelihara yang menganggap burung yang dipelihara sebagai
klangenan, maka tidak terpikirkan untuk membudidayakan atau
mengembang biakkan dengan cara diternak. Akibatnya Perkutut di
alam bebas semakin langka yang bagus, bahkan cenderung punah.
Kegemaran memelihara Perkutut sebagai klangenan khas Jawa
rupanya telah menular kepada etnis Tionghoa yang tinggal di bumi
Jawa. Barangkali oleh orang Tionghoa yang bernaluri bisnis
tinggi menganggap Perkutut bisa dijadikan sarana berhubungan
dengan kekuasaan yang ada. Dan kalau hubungan dengan kekuasaan
terjadi, maka lancarlah bisnisnya.

Orang-orang Tionghoa memang sangat jeli melihat peluang bisnis.
Begitu mengetahui burung Perkutut di alam bebas Indonesia
mendekati kepunahan, mereka mendatangkan burung Perkutut dari
Thailand. Semula Perkutut Bangkok kurang menarik bagi penggemar
di Indonesia, karena suaranya kurang memenuhi selera. Kesannya
hanya besar tapi tanpa lagu. Para pedagang burung Thailand (yang
kebetulan juga etnis Tionghoa) sangat kreatif untuk memenuhi
selera pasar di Indonesia. Disamping mereka mengekspor burung
ke Indonesia, juga membeli burung dari Indonesia. Perkutut
Indonesia itu kemudian disilangkan dengan Perkutut Bangkok.
Bahkan persilangan begitu berkembang dengan berbagai jenis
Perkutut yang ada di Asia Tenggara. Dan hasilnya burung
Perkutut Bangkok yang di ekspor ke Indonesia bisa memenuhi
selera penggemar di Indonesia. Sampai saat ini hubungan silang
menyilang Perkutut antara Indonesia dan Thailand terus
berlanjut. Maka semakin menarik dan menjadi tantangan bagi
kita, Bangsa Indonesia, untuk menggeluti Budidaya Perkutut agar
warisan budaya ini bisa dilestarikan.

Sumber : http://groups.yahoo.com/group/wajaseta/message/2926

Komentar

Populer

5 Oldest Islamic Boarding Schools in Java

Mengapa Bung Hatta dulu ingin Indonesia menjadi negara federal? Apa bedanya dengan negara kesatuan?

Terungkap Ternyata Pakaian Ihkram Cuma Beda Warna dengan Pakaian Biksu

Terungkap Ternyata Saba adalah Nama Orang Bukan Nama Negeri atau Daerah